1.
Contoh kasus hak pekerja
Ketua Yayasan
LBH Cianjur, O Suhendra mengatakan, upaya pendampingan dan advokasi dilakukan
lantaran selama ini para buruh buta masalah hukum. Jumlah buruh asal Kabupaten
Cianjur yang sempat diperiksa tim penyidik Polresta Tangerang untuk dimintai
keterangan sebagai saksi korban, Sabtu (11/5/2013), lebih kurang berjumlah 30
orang.
"Mereka (buruh) hanya dimintai keterangan sebagai
saksi korban. Dari 30 orang buruh, empat orang di antaranya masih anak-anak di
bawah umur dengan rata-rata usia 18 tahun," kata Aap, sapaan akrab O
Suhendra saat dihubungi INILAH, Minggu (12/5/2013).
Aap berharap agar pengusaha yang saat ini sudah
ditetapkan sebagai tersangka bisa dijerat pasal berlapis. Dalihnya, pengusaha
sudah melakukan pelanggaran pasal 378 KUHP tentang penipuan, pasal 351 tentang
penganiayaan, dan pasal 333 tentang penyekapan.
"Termasuk juga pelanggaran Undang Undang
Perlindungan Anak dan Undang Undang Perdagangan Manusia (Trafficking). Kami
juga mengharapkan agar hak-hak buruh (korban) maupun perdatanya bisa dipenuhi.
Jika tidak dipenuhi, kami pun akan melakukan gugatan hukum," tegasnya.
Sebelumnya, Sabtu (11/5/2013), tim penyidik Mapolresta
Tangerang, memintai keterangan puluhan korban perbudakan disertai penyekapan
dan penyiksaan buruh pabrik panci di Tangerang asal Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Bandung. Pemeriksaan dilakukan di kantor Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur di Jalan Kompleks
SMPN1.
Pemeriksaan didampingi tim dari Kontras sebanyak 3
orang, P2TP2A Kabupaten Cianjur sebanyak 3 orang, Persatuan Mahasiswa Hukum
Indonesia (Permahi) sebanyak 15 orang, dan LBH Cianjur sebanyak 2 orang. Satu
per satu, buruh yang menjadi korban perbudakan dimintai keterangannya oleh tim
penyidik Polresta Tangerang.
Ketua Bidang Pelayanan Umum P2TP2A Kabupaten Cianjur,
Lidya Umar Indayani mengatakan, jumlah keseluruhan buruh korban perbudakan
sebanyak 33 orang, termasuk 3 korban dari Kabupaten Bandung. Sebanyak 8 orang
di antara buruh itu di bawah umur.
"Korban yang di-BAP itu termasuk juga yang dulu
sempat kabur dari 3 kecamatan sebanyak 9 orang," kata Lidya di kantor
P2TP2A Kabupaten Cianjur, Sabtu (11/5/2013)
Komentar:
Dari kasus di atas, Hal ini diakibatkan oleh lemahnya
sistem pengawasan ketenagakerjaan. Ini terjadi karena tidak seimbangnya jumlah
pengawas Dinas Tenaga Kerja terhadap pekerja. Mungkin yang harus di tingkatkan
lagi adalah kejujuran. Jujur dalam bertindak, jujur dalam pengawasan. Menurut
hemat saya, pengawas harus lebih jujur dan tidak tembang pilih dalam
menjalankan tugas.
Referensi:
http://www.inilahkoran.com/read/detail/1988235/lbh-cianjur-siap-gugat-bos-pabrik-panci-tangerang
2. Contoh kasus etika pasar bebas
CONTOH KASUS EKSPOR
Kasus Dugaan Dumping Terhadap
Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
Salah satu kasus yang terjadi
antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh
Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia
mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah
Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22
persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor
produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel
yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta
dolar.
Karenanya, Indonesia harus
melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual
ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis
produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and
paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas
Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002
dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara
dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli
11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada
7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia
ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan
PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%.
Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta
diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004
gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta
Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses
pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap
pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan
tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea
telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk
kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek
dumping dari produk kertas Indonesia.
Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan
melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa
kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan
merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara
yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang
terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan
unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing
negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk
memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual
produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan
pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan
melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau
kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan
seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan
Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on
Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta
Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti
dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada
tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal
disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya
dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam
GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan
peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan
bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat
legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat
juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea
dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel
Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan
Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal
Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam
putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan
rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal
Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama
delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB
menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik
dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar
ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai
dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua
persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan
panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh
Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas
kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk
atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama
pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan
otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat
perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas
Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp &
Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping,
KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen.
Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated
wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56;
4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia
telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26
Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya,
konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum
melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu.
Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor
kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut
akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat
tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping Korea-Indonesia
pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus
dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan
antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi
industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain
itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam
rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari
harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini,
Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping
apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang
diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti
dalam rangka penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS
sesuai perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti
melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan.
Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan,
pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai
barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
http://septiiyanekogogo.blogspot.com/2013/07/kekuatan-sosial-dan-budaya-dalam_1.html
3. Contoh Etika Perlindungan Konsumen
Perjalanan obat nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT
Megasari Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk seperti tisu basah,
dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan
dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh untuk kelasnya.
Selain di Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia.
Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
ANALISIS :
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pada pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
Kita mengetahui bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran perusahaan besarpun berani untuk mmengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Mereka hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan ongkos produksi yang minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya . dalam kasus HIT sengaja menambahkan zat diklorvos untuk membunuh serangga padahal bila dilihat dari segi kesehatan manusia, zat tersebut bila dihisap oleh saluran pernafasan dapat menimbulkan kanker hati dan lambung.
Dan walaupun perusahaan sudah meminta maaf dan juga mengganti barang dengan memproduksi barang baru yang tidak mengandung zat berbahaya tapi seharusnya perusahaan jugamemikirkan efek buruk apa saja yang akan konsumen rasakan bila dalam penggunaan jangka panjang. Sebagai produsen memberikan kualitas produk yang baik dan aman bagi kesehatan konsumen selain memberikan harga yang murah yang dapat bersaing dengan produk sejenis lainnya.
Penyelesaian Masalah yang dilakukan PT.Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah
Pihak produsen (PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT Aerosol Baru telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal 08 September 2006 Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT Aerosol Baru dapat diproduksi dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9-2006/S).Sementara itu pada tanggal 22 September 2006 Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin yang menyetujui pendistribusiannya dan penjualannya di seluruh Indonesia.
Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
ANALISIS :
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pada pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
Kita mengetahui bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran perusahaan besarpun berani untuk mmengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Mereka hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan ongkos produksi yang minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya . dalam kasus HIT sengaja menambahkan zat diklorvos untuk membunuh serangga padahal bila dilihat dari segi kesehatan manusia, zat tersebut bila dihisap oleh saluran pernafasan dapat menimbulkan kanker hati dan lambung.
Dan walaupun perusahaan sudah meminta maaf dan juga mengganti barang dengan memproduksi barang baru yang tidak mengandung zat berbahaya tapi seharusnya perusahaan jugamemikirkan efek buruk apa saja yang akan konsumen rasakan bila dalam penggunaan jangka panjang. Sebagai produsen memberikan kualitas produk yang baik dan aman bagi kesehatan konsumen selain memberikan harga yang murah yang dapat bersaing dengan produk sejenis lainnya.
Penyelesaian Masalah yang dilakukan PT.Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah
Pihak produsen (PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT Aerosol Baru telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal 08 September 2006 Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT Aerosol Baru dapat diproduksi dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9-2006/S).Sementara itu pada tanggal 22 September 2006 Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin yang menyetujui pendistribusiannya dan penjualannya di seluruh Indonesia.
http://cevyhidayat06.blogspot.com/2013/10/perusahaan-yang-melanggar-etika-bisnis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar